Rabu, 12 Mei 2010

EVALUASI PENDIDIKAN SEBAGAI PENYEDIA INFORMASI UNTUK PENGENDALIAN MUTU PENDIDIKAN

EVALUASI PENDIDIKAN SEBAGAI PENYEDIA INFORMASI UNTUK PENGENDALIAN MUTU PENDIDIKAN
Oleh:
Zufri Edi

Rasional:

Untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu pendidikan, diperlukan adanya berbagai kebijakan. Kebijakan tersebut dilahirkan oleh pembuat keputusan berdasarkan informasi yang benar dan akurat. Informasi yang benar dan akurat tersebut, hanya dapat diperoleh melalui hasil evaluasi yang mendalam terhadap semua aspek dan komponen pendidikan. Jadi, tidak mungkin seorang pembuat keputusan dapat mengambil kebijakan dengan benar tanpa melalui evaluasi yang dilakukan secara terfokus, konprehensif, dan berkesinambungan.
Kata Kunci: Evaluasi Pendidikan, Informasi, Mutu Pendidikan

Ada beberapa indikator yang menggambarkan mutu pendidikan di Indonesia mengalami masalah sehingga menghasilkan realita tujuan berdirinya suatu negara semakin menjauh dari cita-cita luhur pendiri negara. Indikator kegagalan pendidikan di Indonesia diantaranya adalah belum terwujudnya pengembangan kognitif siswa yang bermutu dan menggembirakan. Data International Educational Achievement (IAEA) menunjukkan kemampuan membaca siswa SD kita berada pada urutan ke-38 dari 39 negara yang diteliti. Sedangkan kemampuan siswa SLTP di bidang IPA berada pada urutan 32, matematika pada urutan ke-34 dari 38 negara yang diteliti di seluruh dunia menurut hasil penelitian The International Mathematics and Science Repeat tahun 1999.
Rendahnya kualitas hasil pendidikan itu berdampak pada rendahnya kualitas SDM Indonesia sebagaimana dilaporkan UNDP tentang human development indeks (HDI) dimana, pada tahun 2002 Indonesia berada pada rangking ke-110 dari 173 negara dan pada tahun 2003 lebih merosot tajam lagi.
Rendahnya mutu pendidikan itu disebabkan oleh banyak hal yang satu sama lain membentuk lingkaran setan, tak dapat dipisahkan. Ia akhirnya menjadi fenomena pendidikan yang berujung pada fenomena bangsa. Hal ini menyebabkan bangsa Indonesia tersentak. Berbagai kebijakan dan peraturan yang bertujuan untuk memperbaiki mutu pendidikan mulai digulirkan. Mulai dari penerapan MPMBS, desentralisasi pendidikan (otonomi sekolah), penerapan UU sistem pendidikan nasional yang baru, sampai kepada perubahan kurikulum, disamping program-program lain yang bersifat makro.
Apapun alasannya, yang jelas telah terjadi perubahan dalam paradigma sistem pendidikan nasional. Dan perubahan ini adalah wajar, karena sebagai organisasi yang berada di antara lingkungan masyarakat, lembaga pendidikan tidak dapat dan tidak dibenarkan berdiri sendiri terlepas dari masyarakat lingkungannya. Ini berarti, ia harus mengikuti perubahan-perubahan masyarakat. Namun, perubahan itu haruslah sistematis dan terarah dan di bawah kendali perencanaan yang matang. Setiap perubahan harus benar-benar diyakini dapat meningkatkan mutu pendidikan dan mencerminkan kebutuhan untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang lebih efektif dan efisien.
Berkenaan dengan hal di atas, keberadaan evaluasi pendidikan adalah hal yang mutlak diperlukan. Setiap pengadopsian dan pengimplementasian program perlu dievaluasi secara terus-menerus, baik pada tahap perencanaan, proses, maupun output yang direncanakan. Dari sini, kita dapat menetapkan tindakan-tindakan perubahan selanjutnya. Artinya, hasil evaluasi dapat dijadikan sumber informasi untuk melakukan tindakan-tindakan perubahan, apakah tetap bertahan dengan sistem lama (homeostatic), mengadakan perbaikan seperlunya terhadap program-program yang ada (incremental), memperbaharui program-program lama dengan yang lebih inovatif (neomobilistic), atau perubahan total yang bersifat radikal (metamorphic).

Evaluasi Pendidikan dan Permasalahannya

Dalam pendidikan, menurut Norman E. Gronlund dan Robert L. Linn, dikenal tiga istilah yang terkadang digunakan untuk menyebutkan sebuah konsep yang sama, yaitu, tes, evaluasi, dan pengukuran. Namun masing-masing sebenarnya memiliki konsep yang secara spesifik berbeda. Tes adalah alat atau prosedur yang sistematis untuk mengukur perubahan-perubahan perilaku dari pembelajar. Sedangkan pengukuran adalah prosedur untuk memperoleh deskripsi numerik tentang tingkatan penguasaan karakteristik tertentu dari pada pembelajar. Dan evaluasi adalah proses yang sistematis untuk melakukan pengumpulan, analisis, dan interpretasi terhadap informasi yang dapat menetapkan tingkatan pencapaian tujuan belajar dari pembelajar (Gronlund, 1990:5).
Sementara itu, William A. Mehrens dan Irvin J. Lehmann melihat empat istilah yang digunakan dalam area yang sama, yaitu tes, measurement (pengukuran), evaluasi, dan assesment. Tes biasanya digunakan untuk menyatakan bagian yang paling sempit dari keempatnya, yaitu susunan pertanyaan-pertanyaan standar untuk dijawab, hasil jawaban dari sesorang terhadap soal-soal tes tersebut biasanya disebut dengan measurement (pengukuran) yang terdiri dari angka-angka yang mengindikasikan ukuran atau karakteristik seseorang yang dites tersebut. Pengukuran berkonotasi lebih luas, karena tidak selalu dengan menggunakan alat tes, tapi bisa juga menggunakan instrumen non-tes seperti rating scale, skala likert atau lainnya yang dapat menunjukkan ukuran-ukuran kuantitatif. Evaluasi adalah sebuah proses menggambarkan, mendapatkan, dan memaparkan berbagai informasi yang berguna untuk menetapkan sebuah pilihan putusan. Sehubungan dengan pengertian itu, evaluasi juga sering diartikan sebagai sebuah putusan profesional atau sebuah proses yang seseorang bisa membuat sebuah putusan tentang sesuatu yang diharapkan, baik dengan berbasis data kuantitatif maupun kualitatif. Sedangkan assessment (penaksiran atau penilaian) seringkali digunakan dalam konotasi yang sangat partikular, yakni diagnosis dari problem-problem seseorang (Mehren, 1984:5). Namun, dalam dunia akademik, assessment lebih banyak digunakan dalam kegiatan penelitian baik untuk mengukur respon, pendapat, pandangan maupun persepsi masyarakat tentang sesuatu kebijakan atau kenyataan sosial. Dan perlu juga kita ketahui, bahwa dalam pendidikan tidak pernah mengevaluasi seseorang, baik tentang potensi akademiknya, kemampuan matematisnya, tingkat kejujuran atau kemampuan dan hasrat serta kecenderungannya untuk menjadi guru atau profesi lainnya.
Luasnya ruang lingkup evaluasi pendidikan, oleh Yusuf (2005:17) dijelaskan dengan mengutip pengertian evaluasi pendidikan yang dikemukakan oleh Daniel L. Stufflebeam dan Egon G. Guba (1968) yaitu : Evaluation is the; 1) process of: 2) delineating; 3) obtaining, and; 4) providing; 5) useful; 6) information for; 7) judging; 8) decision alternatives. Dari pengertian ini, ruang lingkup evaluasi pendidikan mencakup proses penggambaran, pemerolehan, dan penyediaan informasi yang berguna untuk penetapan alternatif-alternatif keputusan. Selanjutnya, Yusuf menjelaskan bahwa, berdasarkan batasan konstruk evaluasi yang dikemukakan Guba dan Stufflebeam ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) Evaluasi dibangun dalam kerangka jasa untuk pembuatan keputusan yaitu penyediaan informasi yang berguna bagi pengambilan keputusan. 2) Evaluasi itu suatu sirkel/siklus, suatu proses yang terus-menerus dalam suatu program. 3) Proses evaluasi mencakup tiga langkah utama, yaitu; penggambaran informasi yang dibutuhkan dan perlu dikumpulkan melalui evaluasi; cara pemrolehan, pengadaan, dan pengumpulan informasi, dan; penyediaan informasi yang berguna. 4) Dalam konstruk evaluasi, seperti yang telah diutarakan ada tiga konsep yang tersembunyi di dalamnya, yaitu; memberikan pertimbangan; nilai, dan; arti. 5) Apabila ingin mengetahui akibat sampingan dari kegiatan, suatu program/kurikulum atau kondisi lain, maka evaluasi yang dilakukan janganlah semata-mata bertumpu dari tujuan yang telah ada, tetapi perhatikan pula hal-hal lain di luar tujuan yang telah ditetapkan itu. Dal;am hal ini perlu sekali dipertimbangkan dan ditetapkan apakah evaluasi berdasarkan kurikulum (curriculum based evaluation), evaluasi berdasarkan tujuan (goal based evaluation), atau evaluasi yang tidak terikat kaku pada tujuan semata, tetapi juga memperhatikan yang lain seperti dampak pengiring/sampingan dari kurikulum yang dilaksanakan (goal free evaluation). Oleh karena itu, dalam penggambaran informasi apa yang dibutuhkan untuk dievaluasi perlu kehati-hatian sehingga tidak jauh menyimpang dari pokok persoalan yang ingin dinilai.
Berdasarkan pengertian di atas, evaluasi pendidikan bukan hanya evaluasi hasil belajar, tetapi juga meliputi evaluasi input/komponen pendidikan, evaluasi proses/pelaksanaan kegiatan, dan evaluasi outcomes, disamping evaluasi produk/hasil pendidikan (Yusuf,2005:i).
Bila ditinjau dari segi tingkatannya, Depdiknas (2004:7) membagi evaluasi pendidikan ke dalam dua golongan besar, yaitu: 1) Evaluasi Program Tingkat Makro, yakni evaluasi program pendidikan di tingkat pusat sampai dengan tingkat sekolah yang lebih banyak berkaitan dengan mekanisme pengelolaan, dan biasanya tidak berkenaan dengan kegiatan interaksi langsung antara pendidik dan peserta didik. 2) Evaluasi Program Tingkat Mikro, yakni evaluasi program di tingkat kelas yang pendidiknya langsung berinteraksi dengan peserta didik. Kedua jenis evaluasi ini, walaupun mempunyai istilah yang berbeda, tetapi tujuannya tetap sama, yaitu untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan efisiensi program. Selanjutnya hasil evaluasi ini dapat digunakan baik untuk tujuan pertanggungjawaban maupun untuk pengambilan berbagai keputusan khususnya di bidang perencanaan/ perbaikan program.
Dalam praktek penyelenggaraan pendidikan, terdapat berbagai permasalahan di bidang evaluasi sehingga berbagai keputusan yang diambil sering bersifat bias terhadap permasalahan yang sebenarnya. Data yang diperoleh dari hasil evaluasi tidak mencerminkan kelengkapan pengamatan masing-masing kompenen pendidikan. Tentu saja, menurut hemat penulis, data tersebut amat jauh dari memenuhi syarat sebagai sumber informasi yang akurat. Akibatnya, sudah dapat diperkirakan, kebijakan dan keputusan yang diambil untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu pendidikan tidak mencapai sasaran yang diharapkan. Kelemahan-kelemahan evaluasi pendidikan selama ini, akan dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, adanya kecenderungan penggunaan pemaknaan evaluasi pendidikan secara sempit dan parsial. Selama ini, evaluasi pendidikan didefinisikan sebatas evaluasi proses pembelajaran, dan kebijakan yang diambil oleh penentu kebijakan hanya berpedoman kepada hasil evaluasi belajar (EBTANAS/UAN). Pada hal hasil pembelajaran bukan hanya ditentukan oleh proses pembelajaran. Ia merupakan hasil dari berbagai komponen pendidikan yang meliputi raw input, instrumental input, enviromental input, proses, dan produk. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan informasi yang utuh sebagai dasar bagi pengambilan keputusan dan kebijakan, semua komponen tersebut harus dievaluasi. Dalam hal ini, kita merujuk kepada apa yang ditulis Yusuf (2005:3), dimana untuk menjaring informasi pendidikan yang lebih akurat, maka perlu dilakukan evaluasi pendidikan mencakup semua komponen input, proses pelaksanaan, dan produk pendidikan secara total melalui; 1) Evaluasi context/tujuan/kebijakan. 2) Evaluasi input, seperti evaluasi terhadap peserta didik, pendidik, prasarana dan sarana, kurikulum/program, serta input lingkungan. 3) Evaluasi proses, yaitu evaluasi yang dilakukan terhadap proses atau kegiatan pendidikan atau pembelajaran yang sedang berlangsung. 4) Evaluasi hasil/produk. 5) Evaluasi “outcomes”(dampak).
Adalah sangat naif bila kita langsung membuat kesimpulan dari evaluasi hasil belajar siswa untuk mengambil keputusan. Misalnya, dengan melihat hasil rata-rata nilai UAN yang rendah, kita simpulkan disebabkan oleh kompetensi guru yang kurang, manajemen sekolah yang bobrok, gizi murid yang buruk, atau kurikulum yang tidak relevan, tanpa melakukan pengkajian dan evaluasi memdalam terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya. Alangkah bijaksana bila sebelum membuat keputusan, kita lakukan evaluasi terhadap sejumlah pertanyaan yang mungkin berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, misalnya, bagaimana tingkat kesejahteraan guru, bagaimana sarana dan prasarana pembelajaran yang dibutuhkan, bagaimana pengaruh lingkungan, bagaimana keterandalan alat evaluasi, apakah alat evaluasi telah mengukur kesemua aspek kompetensi, dan bagian mana dari kurikulum yang tidak relevan. Hal ini penting untuk mengetahui bagian mana yang perlu diperbaiki dan bagian mana yang harus dipertahankan agar tidak menimbulkan kesalahan dalam mengambil kebijakan yang pada akhirnya melahirkan inefisiensi daya dan dana.
Kedua, adanya kecenderungan pelaksanaan evaluasi hasil belajar sebatas menilai kemampuan pengetahuan (kognitif). Alat-alat evaluasi, mulai dari ulangan harian, semester, sampai kepada ujian akhir (UAN) cenderung hanya menilai aspek kognitif, dan nilai inilah yang menjadi dasar bagi sekolah untuk mengambil keputusan naik kelas dan kelulusan. Padahal bila kita konsisten dengan prinsip-prinsip evaluasi pembelajaran, penilaian itu harus dilaksanakan menyeluruh, utuh, dan tuntas yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor serta dilakukan secara berencana, bertahap, teratur, terus-menerus, dan berkesinambungan dengan menggunakan berbagai teknik dan prosedur penilaian (tes dan non-tes). Nilai yang diperoleh anak tidak hanya menggambarkan perolehan hasil belajar, tetapi juga yang lebih utama adalah dapat menggambarkan proses belajar yang dilakukannya sebagai pengalaman belajar. Menurut hemat penulis, hal ini tidak akan pernah terlaksana selama pengambilan keputusan berpedoman kepada hasil ujian semester atau UAN. Bagaimanapun, selama guru tidak diberikan kebebasan dan kepercayaan untuk mengambil keputusan sendiri, ia akan tetap mengikuti pola-pola lama, mengejar materi pelajaran, men-drill soal-soal, dan mengabaikan proses pembelajaran.
Ketiga, adanya kecenderungan ketidakbebasan guru mengambil keputusan dari hasil evaluasinya sendiri. Artinya, hubungan antara guru dengan murid merupakan pasangan longgar (loosely coupled), dimana kewenangan guru untuk mengambil keputusan terhadap muridnya terbatas. Misalnya, keputusan untuk menentukan kenaikan kelas atau kelulusan ditentukan oleh nilai hasil ujian semester atau UAN tanpa memberikan kesempatan kepada guru-guru untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan. Menurut Salomon, yang dikutip Abizar (2004:131), sistem ini, biasanya lebih adaptif pada tuntutan lokal, tetapi juga rentan terhadap manipulasi, tidak berdaya dalam segalanya kecuali klasifikasi-klasifikasi yang sifatnya ritual, dan relatif masih tidak mengalami perubahan oleh segala sesuatu yang terjadi di sekolah. Selanjutnya, Abizar menjelaskan bahwa pada sistem berpasangan bersifat longgar ini, guru terlindungi dari tuntutan akuntabilitas luar, tetapi pada saat yang sama, keberadaan mereka tergantung kepada kesepakatan dan konsensus, artinya, pada interdependensi yang kuat antara kolega. Untuk ini, beliau kembali mengutip pendapat Salomon bahwa pada situasi seperti ini, tidak masuk akal untuk mengharapkan hasil belajar akan mempengaruhi konteks, karena konteks yang begitu jauh tidak akan mudah dipengaruhi oleh pesan-pesan yang datangnya “jauh dari bawah”. Seperti diungkapkan Schmuck (1978) bahwa pola persahabatan peer-group dan hubungan-hubungan yang punya pengaruh dalam kelas, mempunyai dampak terhadap konsep diri siswa-siswa serta sikap mereka terhadap sekolah yang selanjutnya mempengaruhi unjuk kerja akademik siswa.
Memang ada kekuatiran, bila evaluasi pembelajaran diserahkan sepenuhnya kepada guru akan melahirkan disparitas mutu yang tajam antar wilayah dalam suatu propinsi dan kabupaten/kota disebabkan situasi kondisi sekolah yang belum menempatkan mutu sebagai prioritas utama dan otonomi daerah yang juga belum menjadikan pendidikan yang berkualitas sebagai prioritas utama. Namun. menurut penulis, tetap saja UAN tidak akan dapat menjawab masalah ini sebagai solusinya. Penulis setuju dengan apa yang dikemukakan Yusuf (2005:5) bahwa dari segi uji kemampuan dan sebagai penyedia informasi untuk diagnostik kesulitan belajar serta penggambaran peta kemampuan dalam beberapa mata pelajaran yang diujikan, UAN dan UN akan sangat berarti, sebaliknya untuk menentukan patokan lulus atau tidak lulus dari sistem persekolahan, perlu dipertanyakan secara kritis dan rasional. Boleh saja pihak luar melakukan evaluasi program secara makro untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang akan ditetapkan, namun secara mikro (pada tingkat sekolah) pemberian wewenang dan kepercayaan kepada guru sangat diperlukan, karena gurulah yang paling menghayati persoalan yang dihadapi menyangkut murid-permurid yang didokumentasikannya dari hasil penilaian berkelanjutan dan menyeluruh. Bukankah kita harus konsisten dengan konsep KBK yang di dalamnya terkandung konsep mastery learning? Bagaimanapun, menetapkan patokan yang sama terhadap nilai minimal murid untuk setiap sekolah dan daerah secara nasional adalah tidak rasional. Banyak hal yang menyebabkan mereka berbeda sehingga membutuhkan perlakuan yang berbeda pula.
Keempat, adanya kecenderungan penerapan program-program pendidikan yang tidak didasarkan kepada hasil evaluasi yang mendalam. Euforia reformasi telah membangkitkan semangat dan harapan terhadap perbaikan-perbaikan mutu pendidikan. Semua pakar, politisi, dan orang-orang yang peduli terhadap pendidikan mengemukakan gagasan-gagasan serta inovasi-inovasi baru di bidang pendidikan. Mulailah pengadopsian konsep-konsep dan teori sistem pendidikan yang umumnya diserap dari negara-negara maju. Ditinjau dari segi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sistem politik dan pemerintahan, hal ini pada dasarnya adalah suatu yang wajar. Masalahnya adalah apakah penerapan pembaharuan ini sudah melalui pengkajian dan evaluasi yang mendalam. Sebab, dalam pengadopsian inovasi baru, ada sejumlah pertanyaan yang perlu dijawab melalui evaluasi program, misalnya: Apakah pembaharuan tersebut betul-betul suatu yang dibutuhkan ? Apakah sarana, prasarana, serta dana pendukung perubahan tersebut tersedia cukup ? Bagaimana kondisi sumberdaya manusia yang akan menjalankan program pembaharuan tersebut ? Berapa lama waktu yang dibutuhkan agar program tersebut dapat terlaksana sepenuhnya ?
Setiap perubahan akan memunculkan permasalahan sebagai akibat dari perbedaan antara kenyataan (apa yang ada) dengan yang seharusnya. Misalnya, masalah penerapan kurikulum baru menimbulkan kebutuhan untuk penyediaan guru yang berkopetensi untuk menerapkan kurikulum baru tersebut. Banyaknya guru yang diperlukan untuk mengantisipasi masalah ini, disebut dengan kebutuhan (needs), yakni kesenjangan antara what is dengan what should be (Pidarta, 2005:88). Pendugaan akan kebutuhan (needs assesment), merupakan langkah pertama dalam proses pengembangan perubahan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Kaufman, 1978 ( dalam Danim, 2002:157), dimana langkah awal dari inovasi adalah adanya masalah atau kebutuhan (problems or need) untuk meningkatkan mutu yang lebih baik. Needs ditentukan berdasarkan assesment process agar benar-benar sesuai dengan kebutuhan yang sesungguhnya. Produk assesment itu selanjutnya menjadi cikal bakal masalah penelitian, mengingat inovasi yang baik bersifat rasional empirik. Artinya, inovasi hanya akan bermakna jika dirasakan manfaatnya oleh pengguna inovasi itu ( Dubrin, dalam Danim, 2002:157).
Perubahan kurikulum dalam pendidikan sering terfokus pada variabel keinovasian, dan jarang perhatian diarahkan pada konsekuensi-konsekuensi yang mengikutinya. Sangat sedikit bukti yang dapat diketemukan mengenai hasil-hasil yang diinginkan yang betul-betul sebagai hasil dari penyebaran inovasi kurikulum. Akibatnya, ide-ide baru pendidikan harus diterima lebih berdasarkan kepercayaan dari pada alasan-alasan rasional dimana konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dipertimbangkan (Hanafi, 1981:168). Sebagai contoh kegagalan penerapan inovasi baru dalam kurikulum pendidikan, Hanafi (1981:168) mengutip temuan Carlson (1965) dimana penerapan inovasi pengajaran berprogram yang dimaksudkan dapat memberi kesempatan peningkatan prestasi individual dalam kecepatan berbeda, disalahgunakan di suatu sekolah di Pensilvania, sehingga perbedaan-perbedaan kecepatan belajar individual itu betul-betul tidak timbul. Konsekuensi-konsekuensi yang terjadi tidak seperti yang diharapkan agen pembaharu dan pengaruh inovasi yang diinginkan tidak tercapai.
Contoh kegagalan lain adalah kasus guru-guru sekolah di Michigan yang dipaksa untuk mengadopsi matematika modern. Seorang guru yang telah berpengalaman mengajar 23 tahun, hanya mengerti sedikit tentang inovasi itu, dan sangat menyukainya. Sistem sekolahnya menetapkan tanggal 1 September, dimana semua guru sudah harus mengajarkan matematika modern. Guru yang telah berpengalaman tersebut dikirim ke lembaga penataran guru matematika modern selama liburan musim panas dan kembali ke sekolah dengan sedikit pertambahan pemahaman dan lebih banyak keengganan terhadap inovasi itu. Pada bulan Oktober dia sadar akan ketidakmampuannya menangani bahan pelajaran baru itu; pada bulan November ia mengancam untuk berhenti. Bulan Desember betul-betul ia jatuh mental (Carlson,1965; dalam Hanafi,1981:168).
Di Indonesia, desentralisasi pendidikan dengan konsep-konsep MPMBS baru dimulai pada tahun 2001, namun hingga saat ini belum ada evaluasi yang komprehensif dan detil tentang keberhasilannya atau tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada kinerja pendidikan. Sebagai pembanding, kita bisa melihat pengalaman di negara-negara lain. Sebagaimana dibentangkan oleh Fiske (1996), studi di Argentina, Chile, Colombia, Meksiko, dan Tanzania menyimpulkan bahwa dampak desentralisasi terhadap kemajuan pendidikan tidak sehebat yang diteorikan. Tidak ada bukti yang menunjukkan timbulnya akumulasi sumberdaya pendidikan yang digali dari masyarakat dan pemerintah daerah setelah dilakukannya desentralisasi. Begitu juga halnya mutu pendidikan tidak menunjukkan peningkatan yang berarti sebagai akibat desentralisasi (Supriadi,2004:12).
Praktek-praktek di atas, mengakibatkan kosep MBS di Indonesia belum memperlihatkan arah yang benar. Di samping otonomi sekolah masih dikaburkan oleh perpindahan praktek sentralisasi dari pusat ke daerah, juga terdapat tumpang tindih dan simpang siur antara program MBS dengan program lainnya. Misalnya, di tengah-tengah gencarnya upaya peningkatan peran serta masyarakat pada dunia pendidikan, timbul program BOS yang justru membatasi gerak sekolah dalam menghimpun sumberdaya masyarakat. Walaupun program BOS ini sebenarnya juga masih memerlukan pengkajian dan evaluasi yang mendalam. Akibatnya, kemandirian sekolah sebagaimana yang merupakan sasaran dari MBS, tidak pernah terwujud.
Kasus-kasus di atas menggambarkan konsekuensi-konsekuensi yang dapat timbul dari suatu inovasi bila tidak dilakukan dengan evaluasi tentang langkah-langkah yang perlu diikuti dalam pemantapan sistem penyelenggaraan yang paralel dengan penyiapan sumberdaya manusianya, terutama di tingkat daerah dan sekolah, sehingga mereka memiliki komitmen, integritas, dan konsistensi dalam mencapai sasaran pembaharuan. Antisipasi terhadap konsekuensi-konsekuensi ini harus menjadi fokus utama dalam evaluasi pengimplementasian inovasi pendidikan mendatang. Dapat dikatakan bahwa banyak inovasi dalam bidang pendidikan tetapi sedikit terjadi perubahan. Banyak ide-ide baru yang dipromosikan dan diadopsi, tetapi pembaharuan dalam bidang pendidikan tetap nol. Kebanyakan inovasi itu hanya yang aneh-aneh dalam pendidikan, dan setelah meluas pengadopsiannya sulit untuk mengukur peningkatan prestasi pendidikan. Banyak inovasi pendidikan yang memiliki tingkat keuntungan relatif rendah yang diadopsi dan kemudian ditinggalkan tidak lama berselang.

Evaluasi Sebagai Sumber Informasi

Informasi sama pentingnya dengan sumber daya lainnya, tenaga, dana, sarana dan prasarana. Bagaimana pentingnya informasi bagi kita terbukti dari pameo, siapa yang menguasai informasi maka merekalah yang akan menguasai dunia. Informasi merupakan sumber daya yang membantu pimpinan dalam mengambil keputusan yang penting bagi organisasi. Demikian pentingnya, sehingga dalam mengelola informasi diperlukan ilmu khusus yang disebut manemen sistem informasi.
Secara determinologi, Robert G. Murdick, John E. Roos/James R. Claggell (dalam Atmodiwirio,2000:264) mengemukakan definisi informasi sebagai data yang telah diambil kembali, diolah atau sebaliknya untuk tujuan informatif, atau kesimpulan argumentasi sebagai dasar untuk ramalan pengambilan keputusan.
Dalam pengertian di atas, informasi sebagai penunjang pengambilan keputusan, dapat melingkupi: 1) menunjang keputusan pada lingkungan permasalahan terstruktur, 2) menunjang pengambilan keputusan pada semua tingkat organisasi, 3) menunjang semua aspek pada proses pengambilan keputusan.
Data baru dapat dijadikan sebagai sumber informasi setelah diolah untuk tujuan informatif. Artinya, keputusan atau kebijakan yang akan diambil, tidak dapat hanya berdasarkan kepada sejumlah data. Ia memerlukan kajian dan evaluasi yang mendalam sehingga dapat menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan (Valid dan reliabel). Informasi inilah yang diharapkan dapat digunakan sebagai dasar bagi pengambilan keputusan tentang apa yang perlu dilakukan untuk membantu agar suatu program berhasil seperti yang diharapkan. Misalnya, anak yang memiliki hasil tes matematika 2,5, belum dapat kita tetapkan sebagai anak bodoh. Angka 2,5 tersebut baru berupa data, belum dapat dijadikan sumber informasi. Ia baru dapat dijadikan sumber informasi setelah dilakukan evaluasi. Kita harus mengevaluasinya mulai dari komponen-komponen input, proses, dan output secara komprehensif.
Dalam buku Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (2001:4),, Depdikbud menetapkan komponen dan indikator evaluasi sebagai sumber informasi kedalam lima komponen, yaitu: Pertama, komponen konteks. Di sini pada dasarnya mempertanyakan apakah program sesuai dengan landasan hukum dan kebijakan pendidikan, tantangan masa depan, dan kondisi lingkungan sekolah. Indikator yang digunakan adalah: 1) landasan hukum/kebijakan yang berlaku, 2) kondisi geografis dan sosial ekonomi masyarakat, 3) tantangan masa depan bagi lulusan, 4) aspirasi pendidikan masyarakat sekitar, 5) daya dukung masyarakat terhadap program pendidikan. Kedua, komponen input. Pada dasarnya mempertanyakan apakah input-input pendidikan siap untuk digunakan baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Indikator yang digunakan adalah: 1) sumber daya manusia, 2) kurikulum dan rancangan aplikasinya, 3) sarana dan peralatan pendukung, 4) dana/anggaran, serta 5) berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan. Ketiga, komponen proses. Pada dasarnya mempertanyakan apakah proses pengolahan input telah sesuai dengan yang seharusnya. Artinya apakah proses tersebut telah sesuai dengan prinsip yang diyakini atau terbukti baik. Indikator yang digunakan adalah: 1) proses pengambilan keputusan, 2) proses pengelolaan lembaga atau program sekolah, 3) proses pengelolaan keuangan, 4) proses pembelajaran, 5) proses evaluasi dan seterusnya. Keempat, komponen output. Pada dasarnya mempertanyakan apakah sasaran yang ingin dicapai pada suatu program tertentu telah tercapai. Dengan demikian untuk komponen output, evaluasi baru dapat dilakukan pada saat program sudah selesai dilakukan. Komponen ini selalu mengenai kinerja siswa, karena pendidikan pada dasarnya mendidik siswa. Artinya, apapun program yang diajukan, wujud output-nya harus berbentuk kinerja siswa atau biasa disebut hasil belajar. Hasil belajar ini dapat bersifat akademik, misalnya NEM, nilai raport, kejuaraan pada LKIR dan sebagainya. Juga dapat bersifat non-akademik, misalnya prestasi dalam olahraga, aktifitas keagamaan, kesenian dan sebagainya. Juga sangat mungkin ada output yang bersifat antara, misalnya intensitas kehadiran guru, intensitas belajar mengajar, dan sebagainya. Namun hasil antara itu harus benar-benar sebagai wahana untuk mewujudkan hasil belajar. Kelima, komponen outcome. Pada dasarnya mempertanyakan dampak dari program. Dampak biasanya muncul setelah output terjadi beberapa lama. Dampak dapat terjadi pada siswa (tamatan), misalnya diterima-tidaknya di perguruan tinggi, waktu tunggu mendapatkan pekerjaan, gaji/penghasilan setelah bekerja dan sebagainya. Dampak juga dapat mengenai sekolah, misalnya peningkatan popularitas sekolah, tingkat kepercayaan masyarakat kepada sekolah dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat banyak informasi yang dapat diperoleh dari hasil evaluasi. Macam-macam informasi itu tergantung kepada subjek, objek, dan sasaran dari pelaksanaan evaluasi. Secara umum obyek evaluasi pendidikan adalah semua komponen pendidikan, seperti peserta didik, kurikulum/program, sarana, prasarana, media dan alat pembelajaran, proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan hasil belajar. Sedangkan subyek evaluasi adalah individu yang berfungsi sebagai evaluator pendidikan (Yusuf,2005:33).
Selanjutnya, Yusuf menjelaskan, untuk evaluasi prestasi belajar, guru yang merupakan pelaksana pembelajaran dan pengelola kelas, baik sebagai penggerak, pendorong, pemandu dan pemacu semangat peserta didik, adalah subyek penilai atau tim evaluasi. Merekalah yang setiap saat berhadapan dengan peserta didik. Ia pulalah yang berhubungan secara kontinu dengan peserta didik dan ia pulalah yang banyak mengetahui tentang keadaan peserta didik dengan segala latar belakangnya. Karena itu adalah wajar guru menilai hasil belajar. Namun individu atau kelompok lain dapat pula melakukan evaluasi prestasi belajar asal mampu menyediakan informasi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Apabila yang akan dinilai adalah latar belakang psikologik peserta didik, seperti intelegensi, minat, bakat, persepsi, kesiapan peserta didik maka yang menjadi subyek penilai adalah orang-orang yang dianggap mampu sesuai dengan aspek yang dinilai.
Apa bila yang dinilai proses pembelajaran, maka tim penilai bukanlah guru yang terlibat dalam proses belajar mengajar itu, melainkan orang yang mampu mamahami dan menghayati proses pembelajaran itu dengan baik. Memahami tahap-tahap anak didik, metode mengajar, menguasai bahan pembelajaran maupun strategi belajar mengajar.
Apabila yang dinilai adalah proses pendidikan, maka yang menjadi obyek adalah semua komponen yang terlibat dalam proses pendidikan itu, antara lain: satuan dan materi pelajaran, metode, fasilitas, sistem evaluasi dan sarana serta media pendidikan, sistem administrasi, guru dan tenaga personil lainnya yang ikut terlibat dalam proses belajar mengajar, serta proses belajar mengajar itu sendiri.
Apabila evaluasi pendidikan diarahkan pula kepada evaluasi program pendidikan, maka obyek evaluasi bukan lagi anak didik/peserta didik di sekolah, tetapi juga semua unsur yang terlibat dalam pelaksanaan program itu.

Evaluasi dan Mutu Pendidikan

Apapun program pendidikan yang diterapkan, agenda utamanya adalah peningkatan mutu. Sayangnya, selama ini belum ada standar mutu yang betul-betul dapat dijadikan sebagai acuan dalam menilai program pendidikan. Indikator mutu pendidikan selama ini hanya dilihat dari tinggi rendahnya NEM/NUAN. Pendidikan yang mementingkan pengembangan kognitif siswa seperti sekarang ini melahirkan masyarakat yang mendewa-dewakan angka. Masyarakat terbuai oleh simbol angka yang disebut nilai hingga mengartikan bahwa sekolah adalah tempat produksi angka. Sekolah yang mampu memproduksi angka yang tinggi bagi siswa-siswanya segera dijuluki sebagai sekolah yang unggul. Pada hal menurut Supriadi (2004:20), mutu pendidikan bukan hanya mutu hasil (quality of result/product) dalam bentuk prestasi belajar, melainkan juga mutu pelayanan (quality of service) yang diberikan oleh sekolah, mutu proses pembelajaran (quality of teaching-lerning process), mutu masukan (quality of inputs), dan lain-lain. Sementara itu, Jacques Delors (1998) sebagai chaiman dalam Report to Unesco of the International Commission on Education for the Twenty-first Century, meletakkan mutu pendidikan ke dalam empat pilar, yakni: 1) Learning to know, dengan mengkombinasikan pengetahuan umum yang cukup luas dengan kesempatan untuk belajar lebih mendalam pada sejumlah kecil matapelajaran-matapelajaran. Hal ini juga berarti pembelajaran untuk belajar, untuk mendapatkan keuntungan dari kesempatan-kesempatan pendidikan yang disediakan sepanjang hidup. 2) Learning to do, untuk mendapatkan sesuatu tidak hanya dari keterampilan-keterampilan kerja, tetapi lebih luas lagi, yaitu kemampuan yang sesuai dengan situasi-situasi kerja dalam suatu tim. Hal ini juga berarti belajar untuk melakukan dan dalam konteks berbagai pengalaman sosial dan kerja generasi muda yang bisa saja informal, sebagai akibat konteks lokal atau nasional, atau formal, yang meliputi berbagai kursus, studi-studi nalternatif, dan kerja. 3) Learning to live together, dengan mengembangkan pemahaman orang banyak dan penghargaan dari ketergantungannya, selalu bekerja sama dan belajar mengelola konflik, dalam suatu semangat menghargai nilai-nilai kemajemukan, pemahaman timbal balik, dan kedamaian. 4) Learning to be, lebih baik mengembangkan kepribadian seseorang dan mampu melakukan otonomi yang bahkan lebih besar, bertanggung jawab secara pribadi terhadap keputusan. Sehubungan dengan hal tersebut, pendidikan tidak harus acu tak acuh pada setiap aspek potensi seseorang, seperti daya ingat, pemberian alasan, rasa estika, kapasitas fisik, dan keterampilan berkomunikasi.
Hubungan antara evaluasi dengan pengendalian mutu pendidikan dapat kita lihat dari fungsi evaluasi itu sendiri. Menurut Yusuf (2005:23), paling tidak adan lima fungsi evaluasi pendidikan dalam kaitannya sebagai penyedia informasi untuk pengambilan keputusan dalam upaya peningkatan dan pengendalian mutu pendidikan, yaitu: Pertama, fungsi perbaikan. Artinya, hasil evaluasi dapat dijadikan sebagai sumber informasi untuk menelaah program dan melakukan perbaikan pada bagian-bagian yang perlu diubah/diperbaiki. Kedua, fungsi pengendalian proses dan mutu pendidikan. Fungsi ini dapat dicapai karena melalui evaluasi, sesuatu yang salah dalam pelaksanaan program dapat diperbaiki dan dibetulkan dalam penyusunan rencana dan perbaikan untuk kegiatan atau pertemuan-pertemuan berikutnya. Ketiga, fungsi dasar untuk mengambil keputusan tentang peserta didik. Hasil evaluasi dimungkinkan untuk menjadi dasar memberikan berbagai keputusan yang tepat kepada peserta didik, seperti mengidentifikasi kondisi dan kebutuhan tiap peserta didik dan selanjutnya menyesuaikan perencanaan pembelajaran dengan kebutuhan mereka, menempatkan mereka dalam kelompok belajar, penerapan nilai-nilai murid untuk tujuan seleksi, atau pemahaman murid tentang kemajuan belajar yang dicapainya. Keempat, fungsi akuntabilitas publik. Artinya, hasil evaluasi dapat dijadikan bentuk pertanggungjawaban pendidik kepada publik tentang seberapa jauh tugas yang diterimanya dapat dilaksanakan.
Di samping itu, Yusuf juga mengutip pendapat J. Stanley Ahmann dan Marwin D. Glock (1981) yang menyatakan empat kelompok dari kegunaan evaluasi pendidikan yang memungkinkan menghasilkan informasi peningkatan dan pengendalian mutu pendidikan. Keempatnya itu adalah : 1) Menaksir pencapaian akademik pada tiap-tiap peserta didik. 2) Mendiagnosis kesukaran-kesukaran belajar tiap-tiap peserta didik maupun kelas. 3) Menaksir efektivitas pendidikan dari sisi kurikulum, prosedur pembelajaran, dan pengorganisasian atau pengaturan organisasi pembelajaran. 4) Menilai kemajuan pendidikan dalam populasi yang luas, seperti menolong memahami masalah-masalah pendidikan dan mengembangkan kebijakan masyarakat dalam pendidikan.
Fungsi evaluasi yang langsung diarahkan untuk memperbaiki hasil kegiatan belajar-mengajar (teaching and learning) adalah sebagaimana yang dikemukakan Bloom (1981), yaitu: 1) Fungsi diagnostik. 2) Fungsi penempatan. 3) Fungsi penentuan tingkat keberhasilan, dan 4) Fungsi seleksi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa evaluasi pendidikan dapat berfugsi sebagai penyedia informasi untuk pengambilan keputusan dalam meningkatkan dan mengendalikan mutu pendidikan, sekurang-kurangnya memenuhi tiga syarat, yaitu: 1) Dilihat dari segi prosedur pelaksanaannya; Evaluasi harus dilaksanakan secara terfokus, terkendali, komprehensif, dan terus-menerus. Artinya, evaluasi harus mencakup kesemua aspek pendidikan, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor dan kesemua komponen pendidikan, baik input, proses, output/produk, maupun outcomes yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Dengan kata lain, utuh, menyeluruh, dan berkelanjutan (continu). 2) Dilihat dari keterandalan alat evaluasi; Evaluasi harus valid dan reliabel. Artinya betul-betul dapat mengukur apa yang hendak diukur dan konsisten. 3) Dilihat dari segi kapan dilaksanakan evaluasi; Seyogyanya evaluasi sudah dilaksanakan sebelum pengimplementasian progam, sepanjang proses implementasi, dan setelai selesai program. Artinya, evaluasi tidak hanya dilaksanakan pada hasil yang dicapai, tetapi juga pada saat sebelum proses dimulai. Dengan demikian, kita akan terhindar dari program coba-coba yang akan menghabiskan dana dan daya secara cuma-cuma namun hanya menghasilkan kebingungan dan kebingungan.

Kesimpulan :

1. Sampai saat ini orang masih banyak memandang evaluasi secara sempit. Dimana, evaluasi diidentikkan dengan pengukuran. Pada hal pengertian evaluasi jauh lebih luas dari itu. Ia merupakan proses pengumpulan data kemudian menggambarkan serta memaparkannya dalam bentuk informasi yang akan digunakan untuk mengambil keputusan atau kebijakan. Oleh sebab itu, dalam pengertian luas ini, evaluasi tidak hanya dilaksanakan untuk mengukur hasil dari program pendidikan, tetapi meliputi semua aspek dan komponen pendidikan, sehingga betul-betul dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang akuarat untuk mengambil keputusan.
2. mutu pendidikan tidak akan dapat ditentukan hanya melalui evaluasi hasil pembelajaran. Dia dipengaruhi oleh berbagai faktor masukan (input), proses, dan output itu sendiri. Oleh sebab itu, pengambilan keputusan tentang mutu pendidikan, harus memperhitungkan kesemua faktor yang mempengaruhi. Informasi yang disediakan oleh hasil evaluasi yang akurat, utuh dan menyeluruh dapat dijadikan acuan untuk mengadakan perbaikan, perombakan, atau pengahapusan bagian-bagian mana yang tidak relevan dengan pencapaian tujuan.
3. Evaluasi pendidikan hanya dapat berfungsi sebagai penyedia informasi bagi peningkatan dan pengendalian mutu pendidikan bila dilakukan secara terfokus, terkendali, komprehensif, memiliki keandalan, dan dimulai dari sebelum program dilaksanakan, proses pelaksanaan program, serta pada akhir pelaksanaan program.

DAFTAR RUJUKAN

Abizar, Interaksi Komunikasi dan Pendidikan, Universitas Negeri Padang, Padang, 2004

Atmodiwirio, Soebagio, Manajemen Pendidikan Indonesia, PT. Ardadizya Jaya, Jakarta, 2000

Depdiknas, Penilaian Pendidikan, Dirjendikdasmen-Dir. PLP, Jakarta, 2004

Danim, Sudarwan, Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2002

Depdikbud. RI, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Dirjendikdasmen, Jakarta, 2001

Grounlund, N.E, Measurement and Evaluation in Teaching, Macmillan Publishing Co, Inc, New York, 1980

Hanafi, Abdillah, Memasyarakatkan Ide-Ide Baru, disarikan dari karya; Everett M. Rogers dan F. Floyd Shoemaker, Communication of Innovations, Usaha Nasional, Surabaya, 1981

Mehren, W.A & I. J. Lehmann, Standardized Test in Education, Holt Rinehart and Winston, New York, 1984

Pidarta, Made, Perencanaan Pendidikan Partisipatori dengan Pendekatan Sistem, edisi revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2005

Supriadi, Dedi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004

Yusuf, A. Muri, Dasar-Dasar dan Teknik Evaluasi Pendidikan; Pilar Penyedia Informasi dan Kegiatan Pendidikan, Penjamin serta Penetapan mutu Pendidikan terhadap Berbagai Komponen Pendidikan, Universitas Negeri Padang, Padang, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar